Oleh : Didik Wahyudi
Penulis Lepas – Eks Pengurus Persatuan Wartawan Bojonegoro
Kami bertiga berbincang ringan soal tata kelola proyek di Bojonegoro di sebuah warung kopi yang dulu di tempat tersebut melintas rel kereta api. Saya yang tak paham mencoba menimpali
dan bertanya soal seluk beluk dunia proyek yang mereka geluti. Kedua teman ini adalah kontraktor yang sangat-sangat bersabar untuk menyelesaikan kerja proyek sesuai spek dan tuntutan lain yang diluar anggaran.
Semula saya pancing-pancing agar keluar pernyataan bahwa benar adanya oknum pemerintah selalu minta jatah dari proyek-proyek yang mereka berikan. Tapi jawabannya masih belum jelas tapi mengarah bahwa memang selalu ada oknum yang memainkan untuk mengeruk untung dari setiap proyek pemerintahan. Saat saya simpulkan dari ungkapan mereka yakni modus operasinya “yang penting aman dan dapat bagian” kedua teman kontraktor ini tak membantah bahkan menimpali pemerintah (baca : oknum) selalu ingin menang dan uang.
Oknum-oknum ini selalu menuntut agar perfek secara administratif dan jangan lupa perfek administrasi ini juga senjata yang bisa dimainkan kemana saja arahnya. Semisal memilih rekanan, menghindari hukum, mengamankan dalam pemeriksaan BPK, memeras dengan cara halus dan lain sebagainya. Ujungnya memelihara kesalahan itu bagus untuk mendapatkan sesuatu, sebab jika tak menemui kesalahan tentu oknum ini tak bisa main cantik. Lalu para kontraktor pun sudah sangat paham jika ujungnya selalu minta jatah. Jika jatah diberikan maka semuanya bisa diatur dan yang terpenting aman.
Perbincangan melebar lagi ke soal lain dengan hampir sama persoalannya soal oknum pegawai pemerintah yang nakal yakni soal memelihara kemiskinan. Bahwa memelihara kemiskinan itu menghasilkan bagi oknum-oknum tertentu untuk bisa mengucurkan “program” dan jika ada program maka uang pun bisa didapat. Salah satu teman kontraktor itu mengungkap makanya begitu penting ada desa miskin agar program-program pemberdayaan selalu ada. Dari situ mereka bermain, “nggothek” program sekaligus tetap mempertahankan status kemiskinan suatu daerah atau desa agar tetap bisa bermain entah sampai kapan. Soal kesejahteraan jangan ditanya lagi pada oknum-oknum nakal ini sebab mereka hanya akan senang adanya program untuk kemiskinan bukan untuk benar-benar mengentaskan. Mereka seperti mencandai kemiskinan yang menimpa suatu daerah atau desa.
Penjelasan diatas barangkali mirip dengan nasib PKL di Bojonegoro yang tak kunjung menemukan solusi konkrit, sehingga selalu terusir kesana kemari dan hanya diberi janji muluk relokasi yang manis-manis. Jauh sebelumnya para PKL diobrak dari tepi jalan-jalan protokol, kalau tidak salah awal-awal pasangan duet awet Suyoto – Setyo Hartono naik tahta pada periode pertama.
Mereka kalang kabut dan melakukan perlawanan dengan menggelar demo berkali-kali tapi tetap saja mereka harus menyingkir dari trotoar. Mereka menerima tapi harus ada solusi bagi mereka, maka dibentuklah relokasi yang berdekatan dengan lokasi berjualan semula. Ada yang mendapatkan tempat di terminal baru, pasar kota dan terminal lama. Tapi relokasi itu tak menguntungkan para PKL sebab penghasilan mereka menurun drastis. Hal itu dialami para PKL di terminal baru dan lama maka sebagian kembali nekat berjualan di tepi jalan meski harus berhadapan berkali-kali dengan petugas Satpol PP.
Yang mendapatkan janji paling manis adalah para PKL yang direlokasi di terminal lama sebab di lokasi tersebut akan dibangun semacam pusat belanja. Mereka bisa berjualan berbagai macam makanan atau berjualan lainnya. Maka awal-awal relokasi tersebut digelar hiburan di lokasi tersebut untuk mendatangkan massa sekaligus promosi. Hiburan tinggal hiburan tapi penghasilan PKL menurun drastis. Beberapa bahkan patah hati tak mau berjualan sebagai PKL, beberapa kembali berjualan di tempat lama meski harus kucing-kucingan dengan petugas. Bahkan terakhir mereka kembali terusir dari terminal lama setelah di lokasi tersebut akan dibangun taman tidak jadi dibangun pusat kuliner Bojonegoro dan semua PKL harus meninggalkan lokasi tersebut dengan dead line. Mereka kembali terkatung-katung tak jelas seperti nasib PKL di seputaran alun-alun (soal ini pernah saya tulis) dan PKL di tempat lain.
Yang terbaru PKL alun-alun akan direloksi ke beberapa jalan dengan janji yang manis pula, seperti akan dibangun pusat kuliner di barat bekas kantor Polwil. Janji yang sama seperti pada PKL di terminal lama, tapi janji kali ini mungkin agak serius karena eksekutif dan legislatif sudah melakukan studi banding di Solo yang dianggap berhasil menangani PKL. Dari sana mereka sudah membuat rumusan pada akhir mei lalu tapi rumusan itu belum di share, apakah akan membuat senyum para PKL sekaligus mendukung keindahan dan kenyamanan kota kecil ini.
Sesungguhnya saya percaya bahwa para PKL justru sangat mendukung keindahan dan ketertiban kota tinggal bagaimana pihak terkait menata dengan baik. Dibutuhkan menata dengan seni serta kehalusan budi tidak asal pokoknya, atau tidak seperti sikap oknum-oknum nakal dengan tetap memelihara persoalan agar program selalu ada seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Memelihara persoalan sesungguhnya hanya akan menguras energi, memelihara persoalan bisa juga seperti menangani PKL tidak secara tuntas hanya relokasi sementara selanjutnya pengusir kembali seperti yang dialami PKL terminal lama. Seharusnya benar-benar dicarikan solusi permanen jika sudah maka tinggal mengontrol solusi tersebut dengan baik.
Jangan sampai dua periode kepemimpinan Suyoto – Setyo Hartono persoalan PKL tak kunjung selesai. Jika hal tersebut terjadi maka pasangan ini akan dikenang publik sebagai pemimpin yang gagal mengatur PKL. Tapi saya berfikir positif bahwa keduanya memiliki keinginan baik terhadap PKL tapi mungkin pejabat di bawahnya yang tidak cakap menangani persoalan ini ataukah tidak tepat dalam menjalankan perintah, hanya Tuhan yang tahu. Ataukah memang ada oknum nakal yang berusaha tetap memelihara persoalan ini hingga nanti, untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Seperti contohnya memelihara kemiskinan agar tetap ada program yang dikucurkan, memelihara kebodohan agar tetap ada program pemberdayaan soal pendidikan, memelihara perang agar bisnis senjata tetap laris, memelihara kejahatan agar sewaktu-waktu bisa dimintai biaya keamanan dan bentuk memelihara lain-lain. Tapi harapan kita semua hal tersebut tidak terjadi, sebab jika terjadi maka seperti memecahkan masalah tanpa solusi, ngelantur kemana-mana agar tetap lucu serta bisa mengeruk untung. Ah semoga tidak. Lalu kami berangsur-angsur meninggalkan warung kopi di jalan pondok pinang. (*)
Related Posts
Kiprah Letkol Czi Arief Rochman Hakim Dandim 0813 Bojonegoro
Pangdam V Brawijaya Deklarasikan Pemilu Damai
Kasad: Perang Ukraina Memberi Dampak Terhadap Kondisi Global
TNI Angkatan Darat Gelar Tournament Esports PUBG Mobile Piala Kasad Tahun 2022
Antisipasi Krisis Pangan, Kasad Perintahkan Manfaatkan Lahan Tidur
No Responses